Jumat, 24 Juli 2015



Sejarah KPH di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan hutan jati di Jawa. Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu, para Bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong pengareng-areng. Di zaman itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru wana atau juru pengalasan (wana atau alas dalam bahasa Jawa berarti hutan). Setelah itu datanglah VOC yang menguasai hutan jati di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal dagang dan bangunan lainnya. Belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada saat itu, VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya. Setelah VOC bangkrut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC dan berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula. Gubernur Jenderal Williem Daendels (1808-1811) kemudian mendirikan organisasi pertama untuk pengurusan hutan jati Jawa, dengan tetap memanfaatkan blandong5. Pemerintah Hindia Belanda tahun 1897 membentuk houtvestrij. Houtvestrij merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam, memelihara hingga memanen pohon6.
     Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berdirinya Negara Indonesia tanggal 18 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen dilimpahkan secara peralihan kelembagaannya kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia. Jawatan Kehutanan kemudian berubah menjadi Perusahaan Negara yang bersifat komersial berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1961 tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara (PERHUTANI)7.
     Sebenarnya, sejak tahun 1990-an, di luar Jawa pernah terbentuk unit-unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Cabang Dinas Kehutanan Provinsi, namun tidak berkembang bahkan dibubarkan karena kuatnya paradigma timber based management sebagai unit manajemen. Dinas Kehutanan sebagai institusi pengurusan hutan (forest administration) kehilangan dasar pengurusan di tingkat tapak berupa institusi pengelola (forest management) dalam bentuk KPH (Departemen Kehutanan, 2010). Salah satu penyebab tidak berkerhasilnya Unit Pengelolaan Hutan tersebut adalah akibat tidak jelasnya hak dan kewajiban KPH sebagai operator pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak, ketidakjelasan hak dan kewajiban SKPD sebagai administrator, serta tidak berperannya insititusi pusat sebagai pembina teknis dan fasilitator namun berperan sebagai executor.
5' Istilah blandong merujuk pada buruh tebang dan mengangkut kayu di hutan
6' Diambil dari : Hutan Jati . http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_jati. diakses 24 Februari 2014
7' Diambil dari Media Informasi KPH. http://www.kph.dephut.go.id. Diakses tanggal 24 Februari 2014
     Cikal bakal pembentukan KPH, sebenarnya sudah dimulai sejak ditetapkannya kebijakan Pemerintah berupa UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Namun amanat pembentukan KPH secara jelas baru tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan. Dalam rangka persiapan untuk mewujudkan kelembagaan KPH, Menteri Kehutanan menetapkan KPH Model sebagai wujud awal dari KPH yang secara bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak. Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH ideal yang akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi KPH sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong untuk berkembang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi. Penetapan wilayah KPH Model bertujuan agar tercapainya percepatan operasionalisasi KPH di seluruh Indonesia.
     Perkembangan KPH sampai dengan bulan Desember 2013 adalah: Penetapan Wilayah KPH Konservasi seluas 10,191 Juta ha pada 38 Taman Nasional, serta 12 Cagar Alam dan Suaka Margasatwa dari total luas hutan konservasi di Indonesia sebesar 26,82 Juta Ha. KPHL yang sudah ditetapkan sebanyak 183 unit (luas 24.144.871 Ha) dan KPHP sebanyak 347 unit (luas 59.812.349 Ha). KPH Model yang sudah ditetapkannya 120 unit dari jumlah total KPH saat ini yaitu 530 Unit. Berdasarkan jenisnya terbagi KPHL Model sebanyak 40 unit (luas 3.550.855 Ha) dan KPHP Model sebanyak 80 unit (luas 12.888.863 Ha). Total luas KPH Model 16.439.718 Ha. Dari 120 KPH Model yang telah ditetapkan wilayahnya, sebanyak 116 unit KPH Model telah terbentuk organisasinya. Dari jumlah tersebut 103 unit KPH Model berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Organisasi yang berbentuk Satuan Perangkat Daerah berjumlah 13 unit dan yang belum terbentuk organisasinya sebanyak 4 unit. Saat ini total SDM di KPH adalah 1.658 orang dengan rincian Kepala KPH 98 orang, Kepala Tata Usaha 69 orang, Kepala Seksi 65 orang, staf 1.140 orang, Bakti Sarjana Kehutanan 168 orang dan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan 118 orang. Dari 120 KPH Model, telah tersusun rencana pengelolaan sebanyak 82 KPH dan sejumlah 38 dilaksanakan pada tahun 2014 (Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, 2013).

Senin, 20 Juli 2015

JENIS-JENIS KPH



Berdasarkan fungsinya KPH dapat dibedakan menjadi :
  1. KPH Lindung (KPHL) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan lindung.
  2. KPH Produksi (KPHP) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruh atau sebagian besar terdiri dari kawasan hutan produksi.
  3. KPH konservasi (KPHK) adalah KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi
Apabila KPH terdiri atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan kepada fungsi pokok hutan yang luasannya dominan.
Berdasarkan jangkauan wilayah kerjanya, KPH dibedakan menjadi:
  1. KPH Pusat. KPH Pusat berupa KPH yang luas wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi atau KPH yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
  2. KPH Provinsi adalah KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya lintas kabupaten/kota.
  3. KPH Kabupaten/Kota adalah KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu wilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan pengelolanya, KPH dibedakan menjadi :
  1. KPH dikelola oleh pemerintah pusat, misalnya untuk KPHK
  2. KPH dikelola oleh pemerintah provinsi, misalnya untuk KPH yang wilayahnya lintas kabupaten/kota.
  3. KPH dikelola oleh pemerintah kabupaten (contoh KPH yang luas wilayahnya dalam satu kabupaten)
  4. KPH dikelola oleh BUMN (contoh Perum Perhutani)
  5. KPH dikelola oleh masyarakat dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKm), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA)8.
8' KPH HKm dan KHP Hutan Adat ada dalam penjelasan pasal 17 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Berdasarkan posisi KPH terhadap izin pemanfaatan hutan yang ada, KPH dibedakan menjadi:
  1. KPH yang seluruh wilayahnya sudah terbagi habis dalam izin-izin pemanfaatan/penggunaan hutan.
  2. KPH yang sebagian wilayahnya sudah dibebani izin-izin pemanfaatan/penggunaan hutan.
  3. KPH yang seluruh wilayahnya belum ada izin pemanfaatan/ penggunaan hutannya atau KPH yang seluruh wilayahnya merupakan kawasan hutan wilayah tertentu. Wilayah tertentu antara lain adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada di luar areal izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.

Sabtu, 18 Juli 2015

Manfaat KPH bagi pemerintah daerah antara lain :



  1. Kejelasan peran antara pembuat kebijakan(regulator) dengan pelaksana kebijakan (operator).
  2. Jaminan supply bahan baku bagi industri hulu (industri pulp dan kertas dan/atau industri pengolahan kayu).
  3. Berkembangnya industri hilir (dari industri pulp dan kertas serta industri pengolahan kayu) di daerah tersebut.
  4. Berkembangnya kesempatan kerja.
  5. Meningkatnya pendapatan daerah.
Manfaat KPH bagi masyarakat adalah :
  1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap hutan melalui ke-mitraan dengan KPH.
  2. KPH menjadi salah satu jalan bagi resolusi konflik pemanfaatan lahan antara masyarakat, pemerintah dan swasta.
  3. Memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, sehingga dapat ditetapkan bentuk akses yang tepat bagi masyaraka
Menurut Kartodihardjo et al (2011), ada beberapa manfaat dan keuntungan dengan dibentuknya KPH dibandingkan dengan tidak adanya KPH seperti terlihat pada Tabel 1.1.



Kegiatan

Tidak ada KPH

Ada KPH





Perencanaan hutan
Lemahnya pengakuan
Kapasitas penjaminan
dan tata hutan

dari pihak lain, sehingga

kepastian kawasan


menimbulkan konflik

meningkat

Lemahnya kontrol, akibat
Kapasitas pengontrolan


pemegang ijin berlaku

pelaksanaan dapat


sebagai pengelola

ditingkatkan
Perencanaan
Rencana Pusat- Provinsi
Rencana dan investasi
Pengelolaan Hutan

–Kabupaten/Kota tidak

kehutanan dapat


terkonsolidasi pada level

terintegrasi pada level


tapak

tapak

Evaluasi RKU dan RKT
Akurasi informasi


pemegang ijin sulit

sumberdaya hutan dapat


dilakukan

ditingkatkan





Kegiatan

Tidak ada KPH

Ada KPH





Pemanfaatan
Kontrol atas pemanfaatan
Prakondisi penyiapan


hutan dan hasil hutan lemah

ijin dapat dilakukan oleh

Investasi yang memerlukan

KPH


kepastian kawasan (bebas
Bila KPH diperkuat


konflik) dibebankan kepada

dengan kewenangan


pemohon ijin

untuk mengevaluasi

Evaluasi pelaksanaan

kinerja IUPHHK, maka


IUPHHK dilakukan secara

integrasi evaluasi


parsial, biaya transaksi

berbagai kegiatan dapat


tinggi

dilakukan KPH



Biaya transaksi dapat




diminimalkan
Rehabilitasi Hutandan Lahan
  • Hasil-Hasil RHL tidak terkelola setelah umur 3 tahun
Kejelasan pengelolaan hasil-hasil RHL dan
         


Ketiadaan koordinasi dalam

investasi kehutanan


penetapan lokasi

lainnya



Meningkatnya kapasitas




koordinasi penetapan




lokasi
Perlindungan hutan
Kegiatan-kegiatan illegal
Deteksi awal dari upaya-


dan gangguan SDH

upaya pencegahan/


(kebakaran, hama, dsb) tidak

pemberantasannya dapat


segera terdeteksi

diintensifkan