Sejarah KPH di Indonesia tidak bisa dilepaskan
dari pengelolaan hutan jati di Jawa. Sejarah mencatat bahwa pada masa lalu,
para Bupati telah memberikan upeti kepada raja-raja dalam bentuk glondhong
pengareng-areng. Di zaman itu telah ada semacam jabatan yang disebut juru
wana atau juru pengalasan (wana atau alas dalam
bahasa Jawa berarti hutan). Setelah itu datanglah VOC yang menguasai hutan jati
di bagian utara Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk kepentingan pembuatan kapal-kapal
dagang dan bangunan lainnya. Belum ada pengelolaan hutan jati yang baik pada
saat itu, VOC lebih banyak mengatur penebangan dan pengamanannya. Setelah VOC
bangkrut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengambil alih tanggung jawab VOC
dan berniat mengembalikan hutan jati Jawa seperti semula. Gubernur Jenderal
Williem Daendels (1808-1811) kemudian mendirikan organisasi pertama untuk
pengurusan hutan jati Jawa, dengan tetap memanfaatkan blandong5.
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1897 membentuk houtvestrij. Houtvestrij
merupakan pengelompokan luas lahan hutan tertentu sebagai suatu satuan
perencanaan daur produksi, yaitu sejak tahap menanam, memelihara hingga memanen
pohon6.
Pasca Kemerdekaan Republik
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berdirinya Negara Indonesia tanggal 18
Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggung-jawab dan kewenangan pengelolaan hutan
di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst
van het Boschwezen dilimpahkan secara peralihan kelembagaannya kepada Jawatan
Kehutanan Republik Indonesia. Jawatan Kehutanan kemudian berubah menjadi
Perusahaan Negara yang bersifat komersial berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 tahun 1961 tentang Pembentukan Perusahaan-Perusahaan Kehutanan Negara
(PERHUTANI)7.
Sebenarnya, sejak tahun
1990-an, di luar Jawa pernah terbentuk unit-unit Kesatuan Pengelolaan Hutan
Cabang Dinas Kehutanan Provinsi, namun tidak berkembang bahkan dibubarkan
karena kuatnya paradigma timber based management sebagai unit
manajemen. Dinas Kehutanan sebagai institusi pengurusan hutan (forest
administration) kehilangan dasar pengurusan di tingkat tapak berupa
institusi pengelola (forest management) dalam bentuk KPH (Departemen
Kehutanan, 2010). Salah satu penyebab tidak berkerhasilnya Unit Pengelolaan
Hutan tersebut adalah akibat tidak jelasnya hak dan kewajiban KPH sebagai
operator pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak, ketidakjelasan hak dan
kewajiban SKPD sebagai administrator, serta tidak berperannya insititusi pusat
sebagai pembina teknis dan fasilitator namun berperan sebagai executor.
5' Istilah blandong merujuk pada buruh tebang dan mengangkut kayu di hutan
6' Diambil dari : Hutan Jati . http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan_jati. diakses 24 Februari 2014
7' Diambil dari Media Informasi KPH. http://www.kph.dephut.go.id. Diakses tanggal 24 Februari 2014
Cikal bakal pembentukan KPH,
sebenarnya sudah dimulai sejak ditetapkannya kebijakan Pemerintah berupa UU
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Namun
amanat pembentukan KPH secara jelas baru tertuang dalam UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor
44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2007 yang telah direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008
tentang tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta
Pemanfaatan Hutan. Dalam rangka persiapan untuk mewujudkan kelembagaan KPH,
Menteri Kehutanan menetapkan KPH Model sebagai wujud awal dari KPH yang secara
bertahap dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual KPH di tingkat tapak.
Pembangunan KPH Model tidak dimaksudkan untuk mencari bentuk KPH ideal yang
akan diimplementasikan secara masal, tetapi merupakan bentuk awal organisasi
KPH sesuai dengan tipologi wilayah setempat, yang secara bertahap didorong
untuk berkembang sesuai dengan siklus pertumbuhan organisasi. Penetapan wilayah
KPH Model bertujuan agar tercapainya percepatan operasionalisasi KPH di seluruh
Indonesia.
Perkembangan KPH sampai
dengan bulan Desember 2013 adalah: Penetapan Wilayah KPH Konservasi seluas
10,191 Juta ha pada 38 Taman Nasional, serta 12 Cagar Alam dan Suaka Margasatwa
dari total luas hutan konservasi di Indonesia sebesar 26,82 Juta Ha. KPHL yang
sudah ditetapkan sebanyak 183 unit (luas 24.144.871 Ha) dan KPHP sebanyak 347
unit (luas 59.812.349 Ha). KPH Model yang sudah ditetapkannya 120 unit dari
jumlah total KPH saat ini yaitu 530 Unit. Berdasarkan jenisnya terbagi KPHL
Model sebanyak 40 unit (luas 3.550.855 Ha) dan KPHP Model sebanyak 80 unit
(luas 12.888.863 Ha). Total luas KPH Model 16.439.718 Ha. Dari 120 KPH Model
yang telah ditetapkan wilayahnya, sebanyak 116 unit KPH Model telah terbentuk
organisasinya. Dari jumlah tersebut 103 unit KPH Model berbentuk Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD). Organisasi yang berbentuk Satuan Perangkat Daerah
berjumlah 13 unit dan yang belum terbentuk organisasinya sebanyak 4 unit. Saat
ini total SDM di KPH adalah 1.658 orang dengan rincian Kepala KPH 98 orang,
Kepala Tata Usaha 69 orang, Kepala Seksi 65 orang, staf 1.140 orang, Bakti
Sarjana Kehutanan 168 orang dan lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Kehutanan 118
orang. Dari 120 KPH Model, telah tersusun rencana pengelolaan sebanyak 82 KPH
dan sejumlah 38 dilaksanakan pada tahun 2014 (Direktorat Wilayah
Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, 2013).