Pengertian
KPH di Indonesia mempunyai banyak makna. Beberapa ahli, ada yang menyebut KPH
sebagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), namun ada yang menyebut KPH sebagai
Unit Pengelolaan Hutan (UPH) (Suhendang, 2007). Perum Perhutani memaknai KPH
sebagai Kesatuan Pemangkuan Hutan.
A.1. Beberapa Definisi Kesatuan Pengelolaan Hutan
Dalam literatur Bahasa Inggris, kata Kesatuan Pengelolaan Hutan
diterjemahkan dari frase forest management unit (FMU). Julian dan
Dunster (1996) dalam buku Dictionary of Natural Resource Management,
mendefinisikan KPH sebagai kawasan hutan yang dikelola sebagai unit produksi
serat atau sumberdaya diperbaharui lainnya. FAO (2000), mendefinisikan Kesatuan
Pengelolaan Hutan sebagai sebuah wilayah yang tutupan lahannya didominasi oleh
hutan dan mempunyai batas yang jelas, dan dikelola untuk memenuhi serangkaian
tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan rencana
pengelolaan hutan jangka panjang. Ontario Ministry of Natural Resources
(2003), mendefiniskan KPH sebagai kawasan hutan yang batas-batasnya dipetakan,
dikelola oleh badan pengelola tunggal untuk seperangkat tujuan yang jelas yang
dinyatakan dalam rencana pengelolaan multi tahun yang mandiri.
Senada dengan hal tersebut ITTO (2003), mendefinisikan KPH sebagai
kawasan hutan yang dikelola dengan seperangkat tujuan dan sesuai dengan rencana
pengelolaan jangka panjang. World Bank (2013), tidak hanya menekankan
pengelolaan jangka panjang dalam pengelolaan hutan oleh KPH, tetapi juga
pengelolaan jangka pendek, serta konsultasi dengan kelompok masyarakat,
pemegang ijin dan para pemangku kepentingan lainnya. Implementasi
kegiatan-kegiatan di KPH harus melibatkan masyarakat lokal secara partisipatif
dan menangani isu-isu sosial dan konflik, termasuk konflik tenurial, akses
terhadap sumberdaya hutan dan hak adat. Handadhari (2014), mendefinisikan
Kesatuan Pengelolaan Hutan diartikan sebagai manajemen kawasan hutan berasaskan
kelestarian hutan dan sekaligus kelestarian usaha/ekonomi.
Kementerian Kehutanan mendefinisikan Kesatuan Pengelolaan Hutan
sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari1. Filosofi dibangunnya KPH
sebenarnya adalah pengelolaan hutan di tingkat tapak, karena munculnya permasalahan
kehutanan ditenggarai akibat ketiadaan pengelola di tingkat tapak, sehingga
dibaca oleh masyarakat sebagai kawasan open acces. Untuk menghadirkan
pengelolaan hutan di tingkat tapak diperlukan unit pengelolaan yang efektif dan
efisien.
Untuk mencapai pengelolaan hutan yang efisiensi dan efektif, perlu
pemisahan peran administrator/regulator dan peran operator dalam pengelolaan
hutan di Indonesia. Selama ini Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan
melaksanakan peran admnistrator/ regulator sekaligus sebagai operator. Peran
administrator/regulator dan operator perlu pemisahan yang jelas, terpisah,
tidak tumpang tindih dan transparan. Pemerintah sebagai penyelenggara
negara perlu memisahkan fungsi regulator/administrator dan fungsi operator,
terutama untuk kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, agar
regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak
sebagai regulator. Pengelolaan hutan menurut penulis termasuk kegiatan yang
menguasai hajat hidup orang banyak, karena hutan mempunyai fungsi ekologis,
sosial dan ekonomis. Fungsi admnistrator/regulator dilakukan oleh Dinas
Kehutanan, sedangkan fungsi operator oleh KPH.
1, Definisi KPH terdapat di PP No 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008, Permenhut No
P.61/ Menhut II/2009.
Kata efektif dan efisien menurut pandangan penulis bermakna bahwa
wilayah hutan yang dikelola tidak terlalu luas sehingga terkelola dengan baik.
Dalam pasal 17 UU No 41 tahun 1999 dikatakan bahwa pembentukan wilayah
pengelolaan hutan dilaksanakan pada tiga tingkat, yaitu: provinsi,
kabupaten/kota dan unit pengelolaan. Kementerian Kehutanan sendiri awalnya
ingin menjadikan KPH sebagai wujud nyata desentralisasi pengelolaan hutan di
daerah (provinsi dan kabupaten). Munculnya UU No 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah merubah tatanan yang ada, karena UU tersebut menyatakan
bahwa sebagian besar pengelolaan hutan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Provinsi. Pengelolaan hutan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi akan menyebabkan rentang kendali yang lebih jauh antara hutan dan
pengelolanya. Dalam penjelasan PP No 6 tahun 2007 disebutkan bahwa untuk
mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari maka seluruh kawasan hutan terbagi
ke dalam KPH. KPH yang dibangun merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil
sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan
lestari. Ada dua nilai yang berbeda dari peraturan yang ada. Di satu sisi arah
pengelolaan hutan diberikan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi yang
posisinya relatif lebih jauh dari sumberdaya hutan, sehingga dikawatirkan tidak
efektif dalam mengelola hutan. Nilai yang lain ingin menjadikan KPH adalah unit
pengelolaan terkecil yang efektif dan efisien.
Data Eksekutif KPH Tahun 2013 menyebutkan bahwa luasan KPH yang
terbentuk sangat beragam. Dari data yang ada ternyata kisaran luas KPH
kabupaten terkecil adalah KPHL Tarakan (4.623 Ha) dan yang terluas KPHP Murung
Raya (905.255 Ha). Sedangkan KPH provinsi luasan terkecil ada di KPHL Bali
Tengah (14.651 Ha) dan terluas di KPHL Aceh (682.391 Ha). Data tesebut
memberi menyadarkan kita bahwa pembentukan KPH sebagai unit pengelolaan
terkecil memerlukan evaluasi ulang. Tingkat administrasi pengelolaan KPH (KPH
kabupaten atau KPH provinsi) tidak ada kaitannya dengan luasan hutan yang
dikelola.
Secara umum, KPH dengan luasan yang relatif kecil lebih mudah
untuk dikelola dibanding KPH yang mempunyai wilayah sangat luas. Sebenarnya KPH
yang luas juga bisa dikelola dengan efektif dan efisien, tetapi memerlukan
kemampuan managerial yang lebih handal dalam mengelola kawasan hutan pada
tingkat tapak. Sehingga pada KPH-KPH yang mempunyai cakupan wilayah yang luas
perlu disiapkan kemampuan managerial yang lebih baik dibanding KPH yang cakupan
wilayahnya kecil.
A.2.
Perbedaan Definisi Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kesatuan Pemangkuan Hutan
Istilah dan pengertian Kesatuan Pemangkuan Hutan sering digunakan
oleh Perhutani. Kesatuan Pemangkuan Hutan melaksanakan pengelolaan hutan
berdasarkan perencanaan yang dibuat oleh Lembaga Perencanaan Hutan di bawah
Unit Perhutani. Kedudukan lembaga perencana tersebut setara dengan kedudukan
Kesatuan Pemangkuan Hutan. Kegiatan kehutanan terdiri dari : penanaman,
pemeliharaan, penjarangan, penebangan dan lain sebagainya disusun oleh lembaga
perencana dan dilaksanakan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan. Organisasi yang
menangani pelaksanaan (pengelolaan)2 hutan secara tegas dipisahkan
dengan organisasi yang menangani perencanaan. Tugas utama dari Kesatuan Pemangkuan
Hutan hanya melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan (penanaman, pemeliharaan,
penjarangan, penebangan, penjualan dan lain sebagainya) di wilayah kelolanya3.
Menurut Yuwono (2008), Kesatuan Pemangkuan Hutan merupakan sinergi antara
konsep planning unit dan management unit. Konsep Kesatuan
Pemangkuan Hutan merupakan konsep pengelolaan kawasan hutan dengan pembentukan planning
unit (boschafdelling/bagian hutan) dan manajemen organisasi
pengelola hutan (organisasi teritorial) yang efektif dan efisien. Dalam konsep
Kesatuan Pemangkuan Hutan, kawasan hutan ditata, dipetakan dan diinventarisasi,
dan dipanen secara swakelola sehingga tindakan pengelolaan hutan dapat
dilakukan lebih intensif. Secara garis besar ada dua organisasi pokok dalam
konsep pemangkuan, yaitu planning unit bertugas
mengendalikan/mengontrol kelestarian hasil (berupa standing stock), dan
management unit sebagai organisasi pengelolaan hutan berfungsi untuk
mengendalikan keuntungan finansial perusahaan. Antara konsep planning unit
dengan management unit saling berdiri sendiri (terpisah dan mandiri),
dan tidak ada yang menjadi sub-ordinasi dari yang lain, akan tetapi keduanya
bersinergi untuk mencapai kelestarian hasil dan kelestarian perusahaan.
2' Terdapat perbedaan pengertian
pengelolaan antara Perum Perhutani dan Kementerian Kehutanan. Menurut Perum
Perhutani, pengelolaan hutan mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan,
penjarangan, penebangan dan penjualan, sedangkan kegiatan pengelolaan hutan
menurut Kementerian kehutanan mencakup tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan, rehabilitasi/reklamasi hutan, perlindungan dan konservasi
hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
3' Diambil dari tulisan : Forest
administration VS Forest Management. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan
Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan.. http://www.dephut.go.id. Diakses 3 Februari
2010
Hakekat dari sistem manajemen berbasis pemangkuan artinya wilayah
hutan dengan segala isinya yang berada dalam “pangkuan” administratur atau
pengelola hutan. Konsekwensinya seluruh wilayah kawasan hutan dan semua
kegiatan/pekerjaan pengelolaan hutan (mulai dari tata hutan, persemaian,
penanaman, penebangan, pengujian, pemasaran, perlindungan hutan dan penanganan
per-masalahan pengelolaan kawasan) menjadi tanggungjawab adminis-tratur KPH
(Handadhari, 2014).
Perum Perhutani sendiri saat ini mengevaluasi struktur organisasi
dengan menyesuaikan profil bisnisnya, agar organisasi dapat meningkatkan peran
dan kontribusinya melalui aktivitas utama (core activity), aktivitas
bisnis (business activity) dan aktivitas pendukung (enabler).
Perubahan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Kesatuan
Pemangkuan Hutan di Perum Perhutani hanya menjalankan tugas penanaman,
pemeliharaan tanaman dan perlindungan. Perencanaan pengelolaan Hutan disusun
oleh Biro Perencanaan Sumberdaya Hutan dibawah Devisi Regional (dulu Kepala
Unit), sedangkan pemanfaatan hasil hutan ditangani oleh: 1). Divisi Komersial
Kayu, 2). Divisi Industri Kayu, 2). Divisi Gondorukem, Terpentin, Derivat dan
Minyak Kayu Putih serta 3) Devisi Wisata Alam dan Agribisnis4.
Walaupun KPH yang dibentuk oleh Kementerian Kehutanan tidak bisa serta merta
bisa mengadopsi struktur tersebut, tetapi ada satu hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pembentukan struktur organisasi di KPH yaitu berdasarkan
potensi sumberdaya hutan yang ada, bukan menyeragaman struktur organisasi
seperti yang ada saat ini.
4'
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No 007/Kpts/DIR/2014
tentang Strktur Organisasi Perum Perhutani
Berbeda dengan konsep Kesatuan Pemangkuan Hutan, Kesatuan
Pengelolaan Hutan didefinisikan sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi
pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Tugas
Kesatuan Pengelolaan Hutan mencakup perencanaan dan pengelolaan hutan
(rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, pemanfaatan). Bahkan Kesatuan
Pengelolaan Hutan mengemban tugas yang komplek, yaitu :
- Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
- Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan.
- Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian.
- Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.
- Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Mencermati tugas dan fungsi tersebut, Kesatuan Pengelolaan Hutan
mengemban fungsi teknis (menyusun rencana pengelolaan hutan sampai pemanfaatan
hutan), fungsi manajerial (perencanaan sampai monev serta menjabarkan kebijakan
kehutanan) dan fungsi bisnis (mendorong investasi di wilayahnya). Berdasarkan
tugas pokok dan fungsinya, Kesatuan Pengelolaan Hutan membutuhkan sumberdaya
manusia yang menguasai aspek teknis, aspek manajerial dan aspek bisnis
agar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini merupakan tantangan berat
bagi pembangunan KPH saat ini, mengingat keterbatasan sumberdaya manusia di
daerah.
KPH merupakan organisasi yang memiliki kemampuan manajerial untuk
memanfaatkan secara optimal asset yang dimilikinya. Seorang Kepala KPH harus
tahu potensi sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya dan punya kemampuan
memasarkan potensi tersebut untuk mencapai kemandiriannya, oleh sebab itu maka
inventarisasi asset atau sumber daya hutan merupakan hal kritikal yang harus
ada. Berdasarkan inventarisasi asset/sumber daya hutan itulah maka tujuan dan
sasaran organisasi KPH ditentukan, kebijakan dan program (business plan)
didesain, serta bagaimana mewujudkan business plan tersebut melalui prinsip 5M
(money, manpower, material, methods,machine) atau 6M (5M tambah Marketing).
Sebagai langkah awal untuk operasionalisasi KPH, pemerintah pusat
perlu mendukung pendanaan untuk kegitan inventarisasi di tingkat tapak. Data
inventarisasi hutan yang selama ini dipakai untuk menyusun Rencana Pengelolaan
Hutan Jangka Panjang kurang detail dan kurang akurat, sehingga sulit untuk bisa
menghasilkan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Menengah, Rencana Pengelolaan
Hutan Jangka Pendek dan Rencana Bisnis yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar